AI: Musuh atau Sahabat Baru di Dunia Pendidikan?
Oleh Ahmad Arifin, S.Kom
Pernahkah Anda mendengar kalimat ini: “Waduh, jangan pakai AI, nanti guru digantikan robot!” atau “AI itu bikin siswa malas, semua tinggal copy-paste!”
 Kalau iya, berarti Anda tidak sendirian. Banyak guru di berbagai sekolah, masih bingung, ragu, bahkan ada yang sampai menolak mentah-mentah kehadiran teknologi ini.
Tapi mari kita bertanya jujur pada diri sendiri: benarkah AI akan menggantikan peran guru? Ataukah justru AI bisa jadi sahabat setia kita di ruang kelas?
Dulu Takut Kalkulator, Sekarang Jadi Sahabat
Mari kita kilas balik sebentar. Dulu, ketika kalkulator pertama kali masuk ke sekolah, banyak guru menolak. Katanya, kalkulator bikin siswa malas berhitung manual. Tapi coba lihat sekarang: apakah kita bisa membayangkan ujian akuntansi atau pembukuan tanpa kalkulator?
Hal yang sama terjadi dengan komputer, internet, bahkan smartphone. Awalnya dicurigai, lama-lama jadi alat wajib. Nah, AI ini sebenarnya “versi terbaru dari kalkulator” — hanya saja lebih pintar, lebih cepat, dan tentu saja lebih serba bisa.
Pengalaman Nyata di Kelas: Dari Frustrasi ke Antusias
Izinkan saya berbagi sedikit pengalaman pribadi. Bertahun-tahun saya mengajar mata pelajaran pemrograman di jurusan RPL. Terus terang, banyak siswa frustrasi ketika saya memaksa mereka memahami dan menguasai satu bahasa pemrograman. Dari ratusan siswa yang pernah saya ajar, hanya satu yang benar-benar berhasil: ia mampu menciptakan aplikasi bel sekolah digital.
Namun, sejak saya mengenal AI dan mulai menerapkannya di kelas, suasananya berubah total. Saat praktik membangun aplikasi dengan bantuan AI, siswa-siswi RPL justru terlihat sangat bersemangat. Mereka antusias, bertanya, mencoba, bahkan bereksperimen dengan berbagai ide.
Apakah mereka dibantu secara ajaib oleh AI? Tentu tidak. AI tidak tiba-tiba menuliskan aplikasi jadi. Justru AI membantu mereka memahami proses: menjelaskan mengapa barisan kode salah, bagaimana cara memperbaikinya, dan memberikan alternatif solusi. Dengan kata lain, ada proses belajar yang nyata di sana.
Kalau boleh saya analogikan: siswa adalah arsitek yang merancang dan mendesain bangunan aplikasi, sementara AI berperan sebagai pekerja lapangan—mulai dari kuli bangunan, tukang, hingga pelaksana. Siswa tetap memimpin proyek, menentukan arah, dan membuat desain. AI membantu merealisasikan rancangan itu dengan lebih cepat dan efisien.
Kesimpulannya jelas: dengan adanya AI, siswa tidak lagi dipusingkan oleh detail teknis pemrograman yang sering membuat mereka patah semangat. Sebaliknya, mereka bisa fokus pada hal yang lebih penting—kreativitas, inovasi, dan bagaimana membangun aplikasi yang bermanfaat. Bahkan, beberapa ide siswa bisa berpotensi menjadi cikal bakal sebuah startup.
Mengapa Guru Harus Melek AI?
Pertanyaan ini penting. Kalau AI sudah masuk ke kurikulum nasional dari TK hingga SMA, lalu guru masih enggan belajar, siapa yang akan memandu siswa? Apakah kita rela murid-murid kita belajar AI dari YouTube tanpa arahan, sementara gurunya sibuk berkata “AI itu haram”?
Bayangkan kalau seorang siswa SMK sudah bisa membuat aplikasi sederhana dengan bantuan AI, sedangkan gurunya bahkan belum tahu cara login ke ChatGPT. Siapa yang lebih siap menghadapi dunia kerja masa depan?
Mitos vs Fakta AI di Dunia Pendidikan
Mari kita luruskan beberapa anggapan yang sering beredar:
- Mitos: AI akan menggantikan guru.
 Fakta: AI hanya alat bantu. Guru tetap menjadi pusat pendidikan, terutama dalam menanamkan nilai, etika, dan karakter.
- Mitos: AI bikin siswa malas.
 Fakta: Kalau diarahkan dengan benar, AI justru membantu siswa berpikir kritis dan kreatif. Sama seperti Google—bukan salah Googlenya kalau siswa hanya copy-paste, tapi bagaimana kita membimbing penggunaannya.
- Mitos: AI itu berbahaya dan haram.
 Fakta: Yang berbahaya bukan AI-nya, tapi ketidaktahuan kita dalam menggunakannya. Seperti pisau dapur: bisa untuk memasak, bisa juga untuk melukai. Semua tergantung siapa yang memegangnya.
Manfaat Nyata AI untuk Guru
Lalu, apa sebenarnya yang bisa AI lakukan untuk memudahkan pekerjaan kita sebagai guru? Berikut beberapa contoh:
- Membuat RPP dan bahan ajar lebih cepat.
 Bayangkan biasanya butuh 2–3 jam mengetik RPP, dengan AI cukup beberapa menit sudah jadi draft yang tinggal kita perbaiki sesuai kebutuhan.
- Membantu membuat soal dan asesmen.
 Guru bisa meminta AI membuat soal pilihan ganda, esai, bahkan lengkap dengan kunci jawaban. Tinggal kita cek dan sesuaikan.
- Menjadi “asisten pribadi guru”.
 Misalnya saat butuh ringkasan materi, contoh kasus nyata di industri, atau ide kreatif untuk mengajar. AI bisa jadi teman brainstorming yang tidak pernah lelah.
- Tutor tambahan bagi siswa.
 Siswa bisa menggunakan AI untuk bertanya kapan saja. Guru tidak mungkin 24 jam tersedia, tapi AI bisa membantu sebagai pendamping belajar.
Pertanyaan Pemantik: Berani Jawab?
-         Kalau siswa Anda sudah mahir menggunakan AI, tapi Anda sendiri tidak tahu cara menggunakannya, apakah Anda masih bisa memandu mereka?
-         Apakah menolak AI akan menghentikan perkembangan teknologi, atau justru membuat kita semakin ketinggalan jauh?
-         Jika ada alat yang bisa meringankan pekerjaan guru hingga 50%, kenapa kita masih memilih bekerja 100% manual?
AI: Musuh atau Sahabat?
Mari kita jujur: guru tidak akan pernah digantikan AI. Mengapa? Karena AI tidak bisa memahami emosi siswa, tidak bisa menanamkan nilai moral, tidak bisa menepuk pundak anak yang sedang putus asa lalu berkata: “Kamu pasti bisa, Nak.”
Yang bisa melakukan itu hanya guru. Jadi jangan khawatir, AI tidak akan mengambil tempat kita. Tapi kalau kita tidak mau belajar, justru siswa kita yang akan meninggalkan kita.
Penutup: Ubah Paradigma, Ubah Sikap
Sekarang, pilihannya ada di tangan kita. Mau tetap menutup mata dan menganggap AI ancaman? Atau mau membuka diri, belajar, dan menjadikannya sahabat baru dalam mengajar?
Ingat, guru yang hebat bukan guru yang tahu segalanya, tapi guru yang mau terus belajar mengikuti zamannya.
Jadi, mari kita sambut AI bukan sebagai musuh, tapi sebagai mitra. Karena pada akhirnya, AI tidak akan pernah menggantikan guru—tapi guru yang tidak mau belajar AI, bisa saja digantikan oleh guru lain yang lebih adaptif.
👉 Pertanyaan terakhir untuk direnungkan:
Kalau kita bisa memilih, lebih baik jadi guru yang ditakuti AI, atau guru yang mampu memanfaatkan AI untuk menaklukkan masa depan?